Sang Maestro

“Demi Allah! Sekalipun matahari diletakkan di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku, maka aku tak akan meninggalkan da’wah ini hingga agama ini tegak atau aku mati karenanya” (HR. Ibnu Hisyam)


Suatu ketika di negeri Antah Berantah kedatangan tamu seorang Ulama Arif Billah dari Timur Tengah untuk melihat secara langsung kondisi negeri yang katanya jumlah muslim terbesar di dunia, dari serangkaian agenda di negeri itu, tak lupa sang Ulama berkunjung ke Istana Negara untuk bertemu dengan si Presiden sebagai agenda terakhir.

Setelah ngobrol ngalor-ngidul dengan si Presiden, sang Ulama hendak berpamitan ke Presiden dan berencana langsung take out menuju Negara asalnya, tapi si Presiden berupaya mencegahnya dengan sebuah pertanyaan. Dengan nada serius, sambil menunjukkan sebuah koper yang ada di atas meja sebelah, yang memang disediakan oleh si Presiden untuk dihadiahkan ke sang Ulama karena si Presiden tidak mau negeranya diopinikan sebagai Negara miskin (padahal kenyataannya emang miskin, seperti yang Pembaca juga ketahui) di Dunia, utamanya sesama negeri muslim lainnya.

si Presiden: “ya Syaikh… disitu ada sebuah koper yang berisikan berlembar-lembar uang dollar dan berkeping-keping emas murni, kira-kira nih, Syaikh memilih yang mana antara keArif-Bijaksaan dengan keHarta-Bendaan?”

Tanpa berpikir panjang, sang Ulama berdiri dan berjalan menghampiri koper itu. Sesampainya disana, tanpa keraguan sedikitpun sang Ulama mengambil koper itu dan berkata.

sang Ulama: ”pak Presiden yang terhormat, meskipun Bapak tak sungguh-sungguh menghadiahkan ini pun buat saya, saya tetap pilih keHarta-Bendaan”.

Sontak si Presiden terkejut, terkejut bukan karena koper dan isinya akan diambil sang Ulama, karena memang itu semua untuk dihadiahkan ke sang Ulama. tapi si Presiden terkejut dengan pilihan sang Ulama, sehingga dalam benaknya seakan-akan berkata “apa ini yang disebut Ulama Arif Billah”. Dalam keterkejutan itu, Ia berdiri dan berkata lantang sambil tertawa.

si Presiden: ”hahahahaha… koper itu memang Saya hadiahkan buat Syaikh, silahkan diambil. kalau Saya pribadi lebih memilih keArif-Bijaksaan, Syaikh”.

Begitulah respon si Presiden terhadap pilihan sang Ulama, yang seakan-akan meremehkan kredibilitas sang Ulama sebagai seorang Ulama Arif Billah dan meremehkan kapasitas keilmuan sang Ulama sebagai pewaris para nabi. Tapi tanpa sedikitpun merasa tersinggung, sang Ulama menghampiri si Presiden sambil menenteng koper yang berisikan simbol kekayaan itu, lalu berkata.

sang Ulama: ”Saya baru tahu dan sadar sekarang, ternyata kebanyakan manusia memilih apa yang belum mereka miliki. Saya pamit dulu pak, Wassalamu’alaikum”.

Kemudian sang Ulama bergegas keluar Istana Negara setelah bersalaman dengan si Presiden, sang Ulama memang sengaja bertindak seperti itu sebagai pelajaran buat si Presiden karena sang Ulama tahu persis bagaimana sengsaranya, miskinnya, dan melaratnya rakyat negeri itu(ane rasa pembaca yang budiman juga tahu itu, hehehe) setelah kunjungannya ke beberapa daerah. Setelah mendengar ucapakan sang Ulama, si Presiden hanya bisa diam saja (entah diam karena insaf, atau diam karena menahan amarah yang meluap-luap) dan hanya mampu menjawab salam dari sang Ulama.

si Presiden: "Wassalamu’alaikum…" (@_@)
Photobucket

0 komentar:

Posting Komentar

Inilah catatanku, tentang diriku bersama orang-orang yang dekat denganku: Ayahanda, Bunda, Saudara, Kerabat, dan akhirnya calon Bidadariku yang sibuk dalam penantian di hiruk pikuk Dakwah Islamiyah. Juga sobat seperguruan dan seperjuangan yang kukenal baik, dan banyak kuikuti pemikirannya. Ataupun teman yang sekedar kenal, dan susah kupahami jalan pemikirannya. Hidup ini kadang memang sulit dipahami...