Sang Maestro

“Demi Allah! Sekalipun matahari diletakkan di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku, maka aku tak akan meninggalkan da’wah ini hingga agama ini tegak atau aku mati karenanya” (HR. Ibnu Hisyam)

1/09/2010

Sirathal Mustaqim


“Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegang dengannya, yaitu Kitabullah(al-Qur’an) dan as-Sunnah." (al-Hadits)
* * * * *

Makkah al-Mukarromah dan Madinah al-Munawwaroh adalah ikon ummat islam di Dunia, kedua kota tersebut menjadi senter peribadatan pada saat musim haji. Konon katanya, saat musim haji itulah akan tampak teguran Allah atas perilaku manusia selama hidupnya. Di antara jutaan jama’ah haji, ada Presiden Indonesia yang juga sedang melaksanakan ibadah haji, ibadah tersebut sebagai wujud rasa syukur atas kemenangannya menjadi Presiden untuk kali kedua.
Berbagai ritual telah dilaksanakan dengan tertib, kini tinggal inti dari ibadah haji yaitu wukuf di Arafah. Si Presiden bersama rombongan, dan seluruh jama’ah haji tiba di Arafah. Di sinilah terlihat miniatur suasana padang Masyhar kelak, dimana jutaan manusia menangis mengemis cinta dari sang Khalik. Saking larutnya dengan suasana di Arafah, si Presiden terpisah dari rombongannya. Ia mondar-mandir mencari rombongannya, bukannya menemukan tetapi malah tersesat dan tak tahu arah. Lantas Ia mengambil inisiatif untuk bertanya jalan menuju Masjidil Haram. Jika Ia bisa ke Masjidil Haram, Ia tak perlu pusing-pusing lagi untuk kembali ke Hotel tempatnya menginap.
Alangkah gembiranya Ia ketika bertemu dengan jama’ah lain yang warna kulitnya sama, disangka orang itu senegara dengannya. Maka dengan bahasa Indonesia yang lancar Ia bertanya “Kemana jalan menuju Masjidil Haram?”. Ternyata orang yang ditanya tidak mengerti bahasa Indonesia, sebab Ia orang Madura tulen yang hanya mengerti bahasa Madura. Dan ironisnya orang Madura itu tidak tahu bahwa yang bertanya adalah Presidennya, Ia pangling karena kepala si Presiden yang gundul plontos. Karena itu orang tersebut dengan santai menggeleng seraya menjawab “Engkok tak ngerte”. Maksudnya dia tidak mengerti apa yang ditanyakan.
Tetapi si Presiden tak kehabisan akal, Ia berpikir orang Madura itu toh biasa sholat dan pasti mengerti sedikit-sedikit artinya surah al-Fatihah, sebab surah itu wajib dibaca setiap kali sholat. Ia pun lantas bertanya “Ihdina Masjidil Haram?” (maksudnya, tunjuki Kami –Saya- ke Masjidil Haram). Betul juga, orang Madura itu paham maksudnya, maka sambil menunjuk sebuah jalan orang itu menjawab campur tawa “Shirathol Mustaqim”. Maksudnya, jalan yang lurus.
Si Presiden dengan suka cita mengucapkan terima kasih(tentu masih dalam bahasa Indonesia). Lalu Ia berjalan lurus ke depan. Tetapi baru beberapa meter melangkah, Ia kebingungan karena yang lurus jalannya sempit/kecil, sedangkan yang lebar/besar jalannya agak serong kekiri. Jadi si Presiden menempuh jalan yang agak serong itu karena lebih lebar. Dari kejauhan orang Madura tadi berteriak “Waladhdholin, Mustaqim… Mustaqim…”.(maksudnya, jangan tersesat, lurus aje). Dengan peringatan terakhir itu, si Presiden berhasil mencapai yang dituju tanpa tersesat lagi.
Photobucket
Photobucket

0 komentar:

Posting Komentar

Inilah catatanku, tentang diriku bersama orang-orang yang dekat denganku: Ayahanda, Bunda, Saudara, Kerabat, dan akhirnya calon Bidadariku yang sibuk dalam penantian di hiruk pikuk Dakwah Islamiyah. Juga sobat seperguruan dan seperjuangan yang kukenal baik, dan banyak kuikuti pemikirannya. Ataupun teman yang sekedar kenal, dan susah kupahami jalan pemikirannya. Hidup ini kadang memang sulit dipahami...