Sang Maestro

“Demi Allah! Sekalipun matahari diletakkan di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku, maka aku tak akan meninggalkan da’wah ini hingga agama ini tegak atau aku mati karenanya” (HR. Ibnu Hisyam)

Seorang Kyai berpesan pada santri-santrinya.


"Aku akan segera berkabung kemasa silam, alias akan dipanggil oleh Allah." kata seorang Kyai pada suatu sore kepada santri-santri nya. "Aku akan segera berlalu, masaku akan segera dikuburkan. Kamu sekalian para santri, sekarang menapak dimasa peralihan dan anak-anakmu akan menjadi penghuni zaman baru yang dahsyat dan mengagumkan setelah orde yang sekarang.

"Sami'na wa atho'na (kami mendengar dan kami taat)" kata para santri dengan penuh ta'dzim, "hamba mohon wahai pak Kyai, tancapkanlah cahaya yang menerangi cakrawala."

sang Kyai terkekeh... "Bahasa dan perilakumu yang semacam itu adalah bahasa generasiku, sehingga besok akan terkubur bersamaku. sedang bahasamu yang dikenal oleh masyarakat adalah bahasa Suap, bahasa Ekstasi, dan bahasa-bahasa yang makin tak mengenal sopan santun. Kini berlatihlah untuk meninggalkan upacara dan jenis sopan santun yang mubadzir dan bertele-tele semacam itu. Kemudian mulailah suatu cara hidup yang praktis, yang pragmatis, yang etik-efektif dan efisien. Kemudian, Engkau adalah bapak dari anak-anakmu kelak dan cara hidup baru itulah modal utama yang Engkau ajarkan ke anakmu agar mereka sanggup berlari seirama dengan zaman yang mereka jalani, cara hidupmu yang bertele-tele jangan Engkau warisi dan jangan Engkau wariskan kepada generasi dibawahmu agar mereka tidak digilas oleh boldoser suatu makhluk baru yang esok lusa akan segera lahir semakin banyak lagi.

si Santri bertanya "apa nama makhluk baru itu, Kyai?!?"

"namanya al-konglomerat" jawab sang Kyai

"Maksud apa itu gerangan, pak Kyai?!?"

"Tubuhnya sangat besar, salah satu kakinya di Surabaya dan kaki lainnya di Ibukota Jakarta."

si Santri bertanya "pak Kyai, itu semacam Gatot Koco yang berotot kawat, bertulang besi!!!"

"Bukan santriku, otot mereka bukan kawat, dan tulang mereka bukan besi. Otot mereka adalah jalan-jalan tol, tulang-tulang mereka cor-cor besi gedung-gedung pencakar langit." jawab sang Kyai

"Jadi kalau gitu mereka sangat kuat, ya Kyai."

"Sangat-sangat kuat, maka katakan pada saudara-saudaramu dan anak-anakmu jangan sekali-sekali melawan mereka kalau sungguh-sungguh belum menghitung kekuatanmu sendiri."

"pak Kyai, persisnya seberapa kuat makhluk yang bernama konglomerat itu?!?"

"Hampir tak terbayangkan, karena mereka sanggup mengalahkan dengan mudah semua pendekar-pendekar ulung termasuk Presiden 212, apalagi hanya sekedar gubernur atau menteri. kalau sekedar bupati atau yang setingkat, hanya dijadikan slilit-slilit kecil disela-sela giginya. Bahkan demi mereka, ada pimpinan-pimpinan penegak hukum yang memaksakan membuat skenario penangkapan antar penegak hukum."

"Ajaib, ya Kyai!!!"

"Ajaib... kalau konglomerat itu meludah, setetes air liurnya menjadi dollar-dollar Amerika. Kalau dia bersin, riaknya menjadi milyaran rupiah."

"kalau batuk jadi apa, Kyai?!?"

"kalau batuk jadi Mall, SuperMarket, dan Plaza-Plaza."

"luar biasa kalau begitu, Kyai. Makanan mereka itu apa, sehari-hari?!?"

"Makanan mereka adalah sejenis jajan yang bernama Rakyat Kecil."

"kalau demikian, akan aku ajarkan pada anak-anakku tentang Ilmu Binatang!!!" ucap si Santri

"loh, apa maksudmu dengan ilmu binatang?!?" tanya sang Kyai

"Ilmu Keserakahan, Kyai."

"Darimana kamu menperoleh ilmu yang mengajarkan kalau ilmu keserakahan adalah milik binatang?!?" selidik sang Kyai

"loh, pak Kyai gimana?!? sudah menjadi pengetahuan umum sepanjang zaman bahwa yang dimaksud dengan kebinatangan adalah kerakusan, kebencian, dan kebiadaban." jawab santrinya

sang kyai tertawa terbahak-bahak dan berkata "kyai mana yang ilmunya sesat seperti itu, tidak ada binatang yang rakus itu tidak ada, binatang itu selalu berhenti makan kalau sudah kenyang. Tidak ada binatang yang sudah kenyang masih terus makan. Manusialah yang masih makan, meskipun sudah kenyang. Manusialah yang tidak pernah merasa cukup, meskipun sudah memiliki ribuan perusahaan. Manusialah dan bukan binatang yang tetap merasa kurang, meskipun ditangannya digenggam seratus pulau. Manusialah yang -meskipun mereka telah kuasai harta yang bisa dipakai untuk membeli sepuluh kota besar- berpendapat bahwa apa yang mereka jalani adalah pola hidup sederhana. Kalau sepuluh ekor semut bergotong royong mengangkut sejumput gula, mereka tidak akan menoleh meskipun melihat disekitarnya tergeletak sejumput gula yang lain. Tapi kalau manusia, manusialah yang selalu sangat sibuk mengisi ususnya dengan penguasaan industri makanan dan kosmetik, industri otomotif, industri politik-praktis, bahkan industri manipulasi terhadap hukum dan kitab suci."
Photobucket

0 komentar:

Posting Komentar

Inilah catatanku, tentang diriku bersama orang-orang yang dekat denganku: Ayahanda, Bunda, Saudara, Kerabat, dan akhirnya calon Bidadariku yang sibuk dalam penantian di hiruk pikuk Dakwah Islamiyah. Juga sobat seperguruan dan seperjuangan yang kukenal baik, dan banyak kuikuti pemikirannya. Ataupun teman yang sekedar kenal, dan susah kupahami jalan pemikirannya. Hidup ini kadang memang sulit dipahami...